Obladi Oblada



Waktu saya masih memakai seragam putih biru, saya tidak menyukai matematika. Meski pelajaran penting, buat saya tidak ada gunanya. Saat itu saya masih bercelana pendek dan membenci eksakta, rumus pitagoras hanya tertulis di papan kelas. Saya tidak tertarik logaritma, tapi menyukai satra dan seni suara. Buku tulis hanya buat daftar lagu berikut kord gitar, guru matematika hilang akal, katanya masa depan saya terancam suram.

(Dua belas tahun silam, dan masih terbayang hingga kini. Wajah-wajah muda, tanpa luka tanpa lara.)

Waktu saya masih memakai seragam putih biru, saya benci matematika, tapi menyukai gadis teman sebangku. Namanya Dinda, wajahnya manis dan terang kulitnya. Ia mencintai eksakta, gemar kimia namun membenci sastra dan seni suara. Pohon flamboyan tumbuh di depan kelas, tempat saya dan Dinda membuat PR bahasa. Guru kimia hilang akal, katanya masa depan kita terancam cinta buta. Pohon flamboyan bergoyang kekiri kekanan, tertiup angin pubertas, musim beranjak dewasa. Tiba-tiba, Dinda memberi secarik kertas, -baca di rumah- begitu pintanya. Seekor kupu-kupu melintas, kuning warna sayapnya, menebar aura pancaroba.

(Dua belas tahun silam, dan masih terbayang hingga kini. Beberapa masih menyimpan kenangan, beberapa menguap ke cakrawala.)