Sang Ayu



Siang-siang, aku berharap pedagang cendol lewat. Biasanya sehabis duhur melintas depan rumah. Namun sudah lima minggu tidak terdengar denting belnya. Ting-ting, ting-ting, meggugah dahaga. Cendol legit lembut, gurih santan. Manis merah gula, bercampur nangka. Serutan es menambah sejuk mulut, melega kerongkongan.  Siang-siang ini, belum juga lewat.

Ting-ting, ting-ting. Gerobak cendol biru terang, rodanya terus bergerak. Sejarak yang ditempuh, ting-tingnya bergoyang pula. Anak-anak kecil sering mengerumuni, saat singgah di depan sekolah. Sebagian meminum langsung cendolnya, beberapa minta dikemas plastik bertali sedotan. Sebagian bayar, beberapa belum. Satu di antaranya membayar dengan uang logam. Lalu terjatuh kedalam wadah cendol.

Mbak Inah, gadis penjual cendol, menulis logo pada gerobaknya. DAWET AYU, begitu tulisannya. Seayu mbak Inah, semanis merah gula. Jika lewat jalan depan rumahku, beberapa pengemudi taksi yang mangkal bersiul jahil. Melihat geyal-geyol mbak Inah, mendorong gerobak dawet. Suit-suit…