Duarrr...!




Dia melangkah gontai, menjejakan kakinya di tepi pantai. Malam tergenang dalam sunyi. Rembulan di balik awan bersembunyi. Ombak air laut mendengar dia bernyanyi, ruap-ruapnya menari-nari. Di kejauhan ada dermaga yang membisu, tanpa kapal-kapal. Tiang-tiangnya terayun seperti ingin berlari. Bahkan ingin meloncat, berenang di dekat karang. Dia masih melangkah, dengan tubuh setengah basah.

Dia percaya dengan bernyanyi seluruh jagat akan bernyanyi pula. Dia percaya pula jika tertawa seluruh alam akan tertawa. Dia merasa, gontai langkahnya membuat ombak-ombak itu enggan tinggi bergulung. Maka urung niatnya untuk berlari. Padahal dermaga itu masih dalam jangkau pandangannya. Dia tak ingin melihatnya lagi. Dermaga sama dengan penantian. Dia benci: penantian dan penantian.

Secangkir Cappucinno Dingin


Dua bangku satu meja, café ini kesepian. Dua bangku satu meja, dia duduk dan aku di seberangnya. Café ini kesepian, hanya sederet bangku kosong dan meja-meja dingin. Dia, aku dan dua cappuccino. Empat puntung rokok, dua di antaranya merah bekas lipstiknya  dan asbak bening yang mulai menguning. Hujan baru reda, hawa dingin merambat teras café. Dua bangku satu meja, dia duduk terdiam bisu dan aku teronggok gagu. Café ini kedinginan. Harusnya aku cepat berkata I love you, sebelum si tomboy kabur. Dua cappuccino hangat memperlambat semuanya. Makin gagu, makin bisu. Dia duduk dan aku di seberangnya. Hujan baru reda. Teras cafe tergenang bulan biru. Enam puntung rokok, asbak bening kekenyangan. Harusnya aku cepat berkata I love you, sebelum si tomboy kabur.

Amnesia



Di bawah pohon impian aku duduk bersama dia
daun-daun ingatan gugur; musim baru telah tiba.
Seharian kami menukar luka dengan cerita baru
“Biar seru,” katanya sambil melempar foto kekasihnya.
Aku sibuk mendengar kisah-kisahnya, seolah apa yang dia bicarakan,
adalah tentang aku juga.

Buku Setumpuk Rindu


1325686890824304757


Aku akan datang padamu dengan setumpuk rindu.

Serupa halaman-halaman, tertabung ia menjadi buku. Pada lemari hati, di sanalah buku demi buku tersusun. Belum semua terbaca. Ada bahagian halaman tak kumengerti maksudnya. Istilah-istilah membingungkan dan dialog-dialog aneh. Aku beri penanda. Kutengok lagi nanti, sambil terus menuntaskan bab berikut dan berikutnya.

Mataku selama ini mengagumi sampul luar buku. Terkagum akan makna di balik warna, rupa dan tata letak. Itulah yang membuat aku ingin membaca isinya. Makin misteri desainnya, makin rasa ingin membaca meletup-letup. Sebuah kegairahan membimbingku masuk ke dalam. Mencari yang kuinginkan selama ini pada halaman-halamannya. Laksana perjalanan yang tak kuketahui arahnya, namun sanggup membuatku terus melangkah. Entah sampai kemana nantinya.

Ini Negriku! Mana Negrimu?



Cendrawasih melayang bak sutra selendang melambai, menyapa nyiur menyapa pantai merah pastel. Menjenguk gunung-gunung emas berdampingan sekawan tertancap di tanah, tempat lautan terumbu pesta warna karang menggapai langit biru. Terpantul di riak gelombang lagu nelayan. Kebyar-kebyar corak layarnya menepuk pipi ikan-ikan berloncatan, menunggu jala menunggu salam dari ganggang. Dan lambai mahkota cacing kipas serta kilau pulau-pulau, berserak di sepanjang lintas pelangi katulistiwa.

(tapi bukan kami punya, seru anak-anak berlarian menyeret mainan dari buah jeruk bali)

Gadis Manis Gulali


Ia suka sekali membeli gulali. Makanan manis merah warna, terbuat dari air gula kental. Mengilat, merangsang mata, aromanya meluluh indra pengecap. Hampir saban hari, gadis itu menunggu kedatangan seseorang: pedagang gulali langganan. Yang mana saban siang lewat di jalan kecil depan rumah. Dan acap kali si pedagang lewat, ia segera menghampirinya. Lalu memesan gulali dengan bentuk yang sama yaitu bentuk hati. Entah kenapa tak ingin beda rupa, seperti selera anak-anak penggemar penganan gula kental lainnya.

Sebagian anak-anak lelaki kerap memesan bentuk mobil atau naga-nagaan, ada pula anak-anak gadis lain ingin wujud bunga atau kupu-kupu. Gadis kecil itu tak jua sekalipun memesan lain rupa. Namun Abang pedagang tak hendak bertanya tentang masalah bentuk. Ia hanya melayani, sesuai permintaan pembeli. Membentuk makanan manis itu dengan lincah tangannya. Seperti gerakan seni pematung yang handal, selekasnya membentuk gulali selagi panas.

Tuhan Sedang Bermain Kamera


Hujan mengandung harapan, juga impian
pada garis-garisnya langit seperti menangis, terisak-isak
memecah kesunyian, sambil menebar kilat menyala-nyala.
Yang gelap menjadi terang, yang malam terlihat siang.
.
“Tuhan sedang bermain kamera,” kata seorang pengamen
“Dia memotret kita. Gambarnya akan diserahkan kepada malaikat,
biar malaikat-malaikat tahu, kepada siapa mereka harus memberi hadiah!”
pengamen  itu tersenyum dalam hati, berharap sebentar lagi laparnya hilang.
Baru saja, koin-koin recehnya terjatuh masuk hitam selokan
tak ada tukaran yang bisa ia berikan, kecuali mengharap pemberian
dari doa yang ia lantunkan.

Aku Mendengar Suara Domba yang Membisu


Barangkali kuntum-kuntum putih tak meluruh jendela kamarmu,
meski ladang gandum tetap bermain angin. Hembusnya berlarian
dari bukit-bukit bernafas musik ribuan tahun.

Musik rindu yang mengalahkan kepak sayap burung,
terbang dari danau ke pucuk cemara. Di sana ia bergema memanjang
serupa gaung lonceng berpindah dari misbah Gereja
mengusap-usap telingamu. Juga tubuhmu. Juga hatimu.

Suaranya membangunkan domba-domba yang membisu
meniup kelok sungai yang kali ini tanpa biru beku,
“Kita tak perlu berkemas dengan sepatu berpisau
untuk berdansa di pinggir danau,” bisik angsa-angsa kepadaku
agar membangunkan dirimu.

Maria Namanya, Pelacur Biasa



Maria namanya, pelacur biasa
gincunya memekik bau mawar
berjalan ke lorong jalan yang lenggang.
.
Sebuah café di sudut kota New Orleans
jendelanya suram tertutup bayangan awan hitam
yang berkeliling menghuni malam.

[Haiku] Biru Laut Nelayan



1#
selalu pagi
membawa lambai helai
sayap camar
2#
laut biru
kebyar layar nelayan
menambat peluh
3#

Sajak Tukang Gorengan

foto: dream.co.id

Sore lembab tukang gorengan belum lagi lewat
paras wajahnya, sayu matanya entah kemana.
Jalanan tergenang hujan tadi malam
kepul asap pisang dan ubi absen jam segini.

Pulang kampus lapar teriak dari balik jaket
kutengak-tengok sembarang pojok pangkal jalan.
Gerobak tak nampak, tak terlihat hadir: teng-tengnya.
Wahai gadis di manakah engkau berada?

H.B Jassin dalam Mimpiku



Libur sekolah seindah nilai rapor:
kali ini tak ada angka 6 terselip di barisan 7, 8 dan 9
“Bagus!” guruku senang, Ibuku apalagi.
Sebuah cium hinggap di pipiku,
cium kebahagiaan: kemenangan buatku.
.

Bintang Jatuh


Aku punya tetangga, anaknya banyak; ada lima orang.
Di antara tetangga lain, rumahnya sederhana, atapnya nyaris ambruk
dindingnya berwarna lusuh, hanya ilalang tinggi di halaman.
Kaca-kaca jendela berdebu, sofa di ruang tamunya menyembulkan busa
semua tampak usang, seperti baju-baju yang mereka kenakan.
.
Musim yang muda, aku sesukanya bermain di sana
kadang numpang makan siang bersama.
Satu panci besar mie instan, adalah menu utama mereka
di samping nasi dan beberapa butir bakso.
Aku tak melihat ada udang dan sayur segar, tak menjumpai pula
daging maupun telur. Namun mereka makan dengan lahapnya,
kecuali aku.

Sekantong Kembang Api

Foto: Wifeni

Horeee….
Mak, aku sudah liburan
pergi yuk Mak, jalan-jalan
cuma ke sana, ke taman
mau bermain sambil jajan.
.
Di taman Mak, tahun baru nanti seru
kata orang bunyi petasan meletup-letup
Aih, bagus deh Mak. Aku mau ke sana
sama Emak, sama Bapak.
Apa Bapak pulang, akhir tahun ini?
.

Untuk Gadis Berpesona Purnama



Kepada
Gadis berpesona purnama
.
Jika saja masih punya esok: aku hendak mengajakmu
pergi ke negeri kincir-kincir angin berputar siang malam.
Di antara permadani bunga-bunga tulip berkelopak cerah
lintasan burung-burung kenari oren memadu janji
tempat para seniman menaruh hati.
.
Lalu kita naik kereta malam, melintasi pepohonan oak
mendaki lembah-lembah hijau-biru bersalju
menjejakan langkah ke hamparan Eidelweis di puncaknya.
Di mana lagu The Sound of Music pernah menggema
dan konon; ujung pelangi ada di sana.
(Jangan kuatir tentang dingin, ia takkan menelusup
pori-porimu. Aku akan mendekapmu sehangat anggur Perancis.)

Ia Menggali Airmatanya Sendiri


di tengah kebun,
ia menggali air matanya sendiri
.
menanam bungkusan putih, bermata darah
baru saja ia bawa dari kamar UGD
yang serupa kurusetra
bersimbah erangan dan laknat
hingga datang seribu malaikat
menanti di setiap ujung nyawa

Pertama Ciuman dan Meraba-raba Pacar



Saya pernah punya pacar namanya Tata, kulitnya coklat muda, badannya kurus tinggi, dadanya rata. Teman-teman menyebutnya Kutilang Darat: kurus tinggi langsing dada rata. Tapi saya tak keberatan dengan semuanya, sebab Tata gadis baik hati dan pandai di kelas. Selain itu dia polos bagai tak berdosa dan jarang jajan di sembarang tempat. Nama lengkapnya adalah Tatiana Diandrani. Tata ogah dipanggil Tati, tak mau pula disapa Tia atau Tian atau Ana. Entah kenapa lebih suka dengan sebutan Tata.

Padahal menurut teman-teman, nama Tata kurang seksi, atau memang dia merasa dirinya tidak seksi, maka Tata nyaman dengan nama itu. Padahal lagi, seksi atau tidaknya perempuan bukan melulu masalah tubuh, wajah atau ukuran dada sekalipun. Senyum Tata sebenarnya, menurut saya seksi, karena bibirnya seperti basah terus menerus. Padahal dan padahal, dia tidak mengeluarkan liur sepanjang waktu. Tidak juga memakai lip gloss yang sering digunakan tante-tante yang saya lihat di Mall.

Jadi, bibir Tata memang sudah dari sananya ranum dan segar serupa delima merah. Saya heran, kok hanya diri saya yang berpikir demikian, sedang teman-teman lain tak melihatnya. Apakah mata saya yang berhalusinasi sebab jatuh cinta dengan dirinya? Atau karena bibirnya begitu memesona maka saya naksir Tata? Setahu saya mata ini jarang salah, setidaknya itu yang Ibu Guru katakan, manakala memberi ganjaran tinggi terhadap nilai-nilai menggambar.

Sabda Semesta




Api
Berkata kepada tanah, tentang dahaga dan kekeringan, bukankah api yang selalu menerangi seluruh mahluk di bumi, dan menghadirkan siang dan malam. Menaburkan kehangatan sepanjang hari tanpa ingkar, lalu menjadi pendar setiap gelap hingga malam tetap berseri-seri, bergemintang.

Tanah
Banyu, maukah kau menahan laju arusmu yang menggerus? Benih-benih yang ada di tubuhku sedang tumbuh besar, menebar akar dan rekah pesona. Menumbuh bunga dan buah. Dan datanglah kepadaku rinai hujan yang lembut. Dan wahai sang laut jangan termenung, kirimkan ombakmu padaku melalui udara hingga tertetes dari sejuk gunung.

Air
Sungguh aku menikmati masa-masa saat dalam rupa uap. Berkondensasi dalam pelukmu. Kemudian jatuh pelan-pelan, mengisi rongga-rongga tanah yang rekah. Kita berjarak, dalam himpitan waktu yang mengarak dan kau hadir untuk bergerak. Tapi menikmatimu ketika datang malu-malu membuatku berdebar, beriak-riak, wahai sang udara.

Aku dan Rima




(Nama saya Rima. Saya tak mengerti kenapa hal itu datangnya selalu tiba-tiba? Tak memberi aba-aba. Tak terlihat dan tak dapat diraba. Menangkap setiap insan masuk jebakan serupa jaring laba-laba . Pun dapat bergerak, hanya berkeliling semu mirip ikan dalam keramba.)

Malam nanti. Aku janji. Mengajakmu pergi. Pagi ini. Aku sibuk sekali. Maaf tak hubungi. Sampai nanti. Aku kembali. Siang ini. Persiapan acara fashion. Rok mini. Lingerie. Dan bikini. Jadwalku penuh isi. Maaf tak hubungi. Handphone-ku mati. Jangan tanya Blackberry. Aku belum beli. Mudah-mudahan kau maklumi. Aku alergi. Dengan teknologi. Apalagi yang terkini. Pun ingin punya, itu cuma basa-basi. Sekedar gengsi. Tapi aku sangsi. Apa penting hari gini. Barang yang dimiliki. Tak sungguh punya arti. Namun kamu begitu berarti, buat aku selama ini. Ini bukan basa-basi, ini ungkapan isi hati...

Malam nanti. Aku janji. Mengajakmu pergi. Pagi ini. Aku sibuk sekali. Jadi. Malam nanti. Kita nonton filem Korea. Bintangnya keren. Kamu pasti suka. Drama. Cinta. Dan nafas Asia. Siang ini, aku sibuk sekali. Maaf tak bisa hubungi. Persiapan acara Fashion. Aku musti motret. Hadirnya tak bisa jam karet. Jadwalku mepet. Hadnphone-ku mati. Nanti aku hubungi lagi. Lalu kita pergi. Makan dulu di resto, sebelum nonton filem Korea. Menunya baru, iga bakar rasa kari. Minumnya jus sawi. Sarat serat. Bagus buat kamu. Juga untuk aku. Nggak usah dandan, nggak usah pake lipstik. Aku malas cium bibir penuh zat kimia. Seperti menjilat cat akrilik. Artifisial. Palsu. Semu. Dan aku jemu, dengan semua itu!

Cerita Pendek di Bawah Pusarku



Di keremangan kafe, segelas bir berpendar kemuning
serupa lampu kamar tidurku. Setengahnya tertelan
bibir seorang perempuan, yang terselimuti
kepul asap sekelingking rokok mentol.

Mungkin ini malam dia berlama-lama,
selama terang layar note book-nya
menjelas ayu paras wajahnya.

Dia tetap mengetik,
gelas bir kedua datang.
"Hai.." sapaku dari seberang meja.
"Hai.." tersenyum dia membalas tanpa menoleh,
pahanya ramah menatapku diam-diam.

Balada Surti Sang Penari Jalanan



Dia adalah Surti perempuan penari, bergoyang dikelilingi ramai sorak dan tepuk riuh. Menari meliuk pinggulnya, menyatu buaian lagu dan tubuh. Pentatonik nada berloncatan dari gending selaras bertabuh. Saban siang, saban sore lentik tari jemarinya mewarna sudut jalan yang kumuh.

Dia tanpa peduli akan nasib tak kunjung berubah. Meski setiap hari, setiap putar waktu mengandung lelah. Sebagai penari jalanan lenggok badannya meruah rekah. Senyum segaris manis membelah, mengandung sinar memesona cerah.

Badannya gemulai bergerak melambai selendang, mengikuti alunan tembang riang dendang. Begitu senantiasa dia bertandang. Buat siapa saja yang ingin terhibur, menjauh dari susah, menepis segala rintang.

Surti tanpa lapang selasar untuk mengadu rasa dan gelisah. Dari pagi hingga petang berjarak panjang dari teduh rumah. Setiap langkah adalah desah nafas tercurah. Buat dirinya dan anak semata wayang yang perlu nasi dan sekolah. Hujan guruh gemuruh adalah kawan, terik dan debu menjadi teman. Dari jalan satu ke lain arah, ia hinggap bagai kupu-kupu mereguk bunga segala taman.Dia adalah Surti sang penari jalanan.

Akhir Halaman


bisa jadi yang tak jelas kemudian akan memasti
entah hari ini, kemudian atau nanti
kemarau menunda hujan untuk tunaikan hati
wewangian belum pula menyerbak dari kelopak melati

Rahasia Sepasang Pohon Kampiun



Waktu aku kecil, di depan teras rumah berdiri dua pohon jambu air yang lebat dan rajin berbuah. Pohon yang satu buahnya besar-besar namun hambar rasanya, yang satunya lagi jambunya manis meski ukurannya kecil. Aku menyebutnya pohon jambu besar dan pohon jambu manis. Keduanya mirip sepasang kekasih, hidup damai berdampingan. Ayahku yang menanamnya, sebagai peneduh halaman rumah kami.

“Ini bibitnya sudah kampiun..” kata Ayah.

Kedua pohon kampiun tempatku bermain dikala kecil. Naik dahannya hingga puncak, menunggu burung-burung kecil yang sering lewat. Angin membuat pohon bergoyang, lalu tubuhku ikut terombang-ambing, seru sekali. Tapi Ayah panik tatkala melihatku terayun tinggi di atas pohon itu. Ia menyuruhku turun segera, sebelum angin lebih besar lagi datang disertai hujan. Aku tertawa-tawa sembari selekasnya turun dari pohon kampiun yang mungkin jaraknya empat meter dari tanah. Cukup tinggi untuk melatih keberanian dan melatih otot kaki-kaki anak usia sembilan tahun sepertiku.

Mitos



Di malam hari gelap, lebih pekat dari malam-malam sebelumnya, sepasang insan memadu kasih. Pada ruang kamar yang berantakan seperti tak terawat. Namun interiornya luas dan di penuhi aneka tanaman. Begitu natural dan sejuk, serta dihiasi bebungaan yang tumbuh di berbagai sudut.
.
Aku tak pernah lelah. Memandang buah dadamu, yang besar sebelah. Disharmonious harmony, aku menyebutnya begitu. Dan aku betah, karena kutangmu tak guna malam ini. Kutang hanya milik mereka yang tak suka kebebasan. Membelenggu bagai sabuk pengaman. Padahal, dirimu aman kan Sayang? Sungguh aku lebih suka melihatnya, ketimbang mempergunakan tanganku. Apalagi melatih mulutku yang sudah bukan seumur bayi. Atau kamu menyukai bayi besar dan kekanakan?

Tukeran dong, Baby! Aku telanjang di bagian atas, kamu lepas yang bawah. Biar seimbang, begitu! Lempar sana underwear-mu. Mirip kandang gajah kecil dengan belalai lebih besar dari kepalanya. Aku menyebutnya Ambiguity, sebab kadang mendongak ke atas, kadang menggantung pasrah nasib. Lalu berayun-ayun mirip pendulum. Seperti kamu, aku memilih memakai mataku, daripada menggerakan tangan untuk meraihnya. Apakah kamu keberatan, Baby?