Aku dan Rima




(Nama saya Rima. Saya tak mengerti kenapa hal itu datangnya selalu tiba-tiba? Tak memberi aba-aba. Tak terlihat dan tak dapat diraba. Menangkap setiap insan masuk jebakan serupa jaring laba-laba . Pun dapat bergerak, hanya berkeliling semu mirip ikan dalam keramba.)

Malam nanti. Aku janji. Mengajakmu pergi. Pagi ini. Aku sibuk sekali. Maaf tak hubungi. Sampai nanti. Aku kembali. Siang ini. Persiapan acara fashion. Rok mini. Lingerie. Dan bikini. Jadwalku penuh isi. Maaf tak hubungi. Handphone-ku mati. Jangan tanya Blackberry. Aku belum beli. Mudah-mudahan kau maklumi. Aku alergi. Dengan teknologi. Apalagi yang terkini. Pun ingin punya, itu cuma basa-basi. Sekedar gengsi. Tapi aku sangsi. Apa penting hari gini. Barang yang dimiliki. Tak sungguh punya arti. Namun kamu begitu berarti, buat aku selama ini. Ini bukan basa-basi, ini ungkapan isi hati...

Malam nanti. Aku janji. Mengajakmu pergi. Pagi ini. Aku sibuk sekali. Jadi. Malam nanti. Kita nonton filem Korea. Bintangnya keren. Kamu pasti suka. Drama. Cinta. Dan nafas Asia. Siang ini, aku sibuk sekali. Maaf tak bisa hubungi. Persiapan acara Fashion. Aku musti motret. Hadirnya tak bisa jam karet. Jadwalku mepet. Hadnphone-ku mati. Nanti aku hubungi lagi. Lalu kita pergi. Makan dulu di resto, sebelum nonton filem Korea. Menunya baru, iga bakar rasa kari. Minumnya jus sawi. Sarat serat. Bagus buat kamu. Juga untuk aku. Nggak usah dandan, nggak usah pake lipstik. Aku malas cium bibir penuh zat kimia. Seperti menjilat cat akrilik. Artifisial. Palsu. Semu. Dan aku jemu, dengan semua itu!

Cerita Pendek di Bawah Pusarku



Di keremangan kafe, segelas bir berpendar kemuning
serupa lampu kamar tidurku. Setengahnya tertelan
bibir seorang perempuan, yang terselimuti
kepul asap sekelingking rokok mentol.

Mungkin ini malam dia berlama-lama,
selama terang layar note book-nya
menjelas ayu paras wajahnya.

Dia tetap mengetik,
gelas bir kedua datang.
"Hai.." sapaku dari seberang meja.
"Hai.." tersenyum dia membalas tanpa menoleh,
pahanya ramah menatapku diam-diam.

Balada Surti Sang Penari Jalanan



Dia adalah Surti perempuan penari, bergoyang dikelilingi ramai sorak dan tepuk riuh. Menari meliuk pinggulnya, menyatu buaian lagu dan tubuh. Pentatonik nada berloncatan dari gending selaras bertabuh. Saban siang, saban sore lentik tari jemarinya mewarna sudut jalan yang kumuh.

Dia tanpa peduli akan nasib tak kunjung berubah. Meski setiap hari, setiap putar waktu mengandung lelah. Sebagai penari jalanan lenggok badannya meruah rekah. Senyum segaris manis membelah, mengandung sinar memesona cerah.

Badannya gemulai bergerak melambai selendang, mengikuti alunan tembang riang dendang. Begitu senantiasa dia bertandang. Buat siapa saja yang ingin terhibur, menjauh dari susah, menepis segala rintang.

Surti tanpa lapang selasar untuk mengadu rasa dan gelisah. Dari pagi hingga petang berjarak panjang dari teduh rumah. Setiap langkah adalah desah nafas tercurah. Buat dirinya dan anak semata wayang yang perlu nasi dan sekolah. Hujan guruh gemuruh adalah kawan, terik dan debu menjadi teman. Dari jalan satu ke lain arah, ia hinggap bagai kupu-kupu mereguk bunga segala taman.Dia adalah Surti sang penari jalanan.

Akhir Halaman


bisa jadi yang tak jelas kemudian akan memasti
entah hari ini, kemudian atau nanti
kemarau menunda hujan untuk tunaikan hati
wewangian belum pula menyerbak dari kelopak melati

Rahasia Sepasang Pohon Kampiun



Waktu aku kecil, di depan teras rumah berdiri dua pohon jambu air yang lebat dan rajin berbuah. Pohon yang satu buahnya besar-besar namun hambar rasanya, yang satunya lagi jambunya manis meski ukurannya kecil. Aku menyebutnya pohon jambu besar dan pohon jambu manis. Keduanya mirip sepasang kekasih, hidup damai berdampingan. Ayahku yang menanamnya, sebagai peneduh halaman rumah kami.

“Ini bibitnya sudah kampiun..” kata Ayah.

Kedua pohon kampiun tempatku bermain dikala kecil. Naik dahannya hingga puncak, menunggu burung-burung kecil yang sering lewat. Angin membuat pohon bergoyang, lalu tubuhku ikut terombang-ambing, seru sekali. Tapi Ayah panik tatkala melihatku terayun tinggi di atas pohon itu. Ia menyuruhku turun segera, sebelum angin lebih besar lagi datang disertai hujan. Aku tertawa-tawa sembari selekasnya turun dari pohon kampiun yang mungkin jaraknya empat meter dari tanah. Cukup tinggi untuk melatih keberanian dan melatih otot kaki-kaki anak usia sembilan tahun sepertiku.

Mitos



Di malam hari gelap, lebih pekat dari malam-malam sebelumnya, sepasang insan memadu kasih. Pada ruang kamar yang berantakan seperti tak terawat. Namun interiornya luas dan di penuhi aneka tanaman. Begitu natural dan sejuk, serta dihiasi bebungaan yang tumbuh di berbagai sudut.
.
Aku tak pernah lelah. Memandang buah dadamu, yang besar sebelah. Disharmonious harmony, aku menyebutnya begitu. Dan aku betah, karena kutangmu tak guna malam ini. Kutang hanya milik mereka yang tak suka kebebasan. Membelenggu bagai sabuk pengaman. Padahal, dirimu aman kan Sayang? Sungguh aku lebih suka melihatnya, ketimbang mempergunakan tanganku. Apalagi melatih mulutku yang sudah bukan seumur bayi. Atau kamu menyukai bayi besar dan kekanakan?

Tukeran dong, Baby! Aku telanjang di bagian atas, kamu lepas yang bawah. Biar seimbang, begitu! Lempar sana underwear-mu. Mirip kandang gajah kecil dengan belalai lebih besar dari kepalanya. Aku menyebutnya Ambiguity, sebab kadang mendongak ke atas, kadang menggantung pasrah nasib. Lalu berayun-ayun mirip pendulum. Seperti kamu, aku memilih memakai mataku, daripada menggerakan tangan untuk meraihnya. Apakah kamu keberatan, Baby?