Tuhan Sedang Bermain Kamera


Hujan mengandung harapan, juga impian
pada garis-garisnya langit seperti menangis, terisak-isak
memecah kesunyian, sambil menebar kilat menyala-nyala.
Yang gelap menjadi terang, yang malam terlihat siang.
.
“Tuhan sedang bermain kamera,” kata seorang pengamen
“Dia memotret kita. Gambarnya akan diserahkan kepada malaikat,
biar malaikat-malaikat tahu, kepada siapa mereka harus memberi hadiah!”
pengamen  itu tersenyum dalam hati, berharap sebentar lagi laparnya hilang.
Baru saja, koin-koin recehnya terjatuh masuk hitam selokan
tak ada tukaran yang bisa ia berikan, kecuali mengharap pemberian
dari doa yang ia lantunkan.

Aku Mendengar Suara Domba yang Membisu


Barangkali kuntum-kuntum putih tak meluruh jendela kamarmu,
meski ladang gandum tetap bermain angin. Hembusnya berlarian
dari bukit-bukit bernafas musik ribuan tahun.

Musik rindu yang mengalahkan kepak sayap burung,
terbang dari danau ke pucuk cemara. Di sana ia bergema memanjang
serupa gaung lonceng berpindah dari misbah Gereja
mengusap-usap telingamu. Juga tubuhmu. Juga hatimu.

Suaranya membangunkan domba-domba yang membisu
meniup kelok sungai yang kali ini tanpa biru beku,
“Kita tak perlu berkemas dengan sepatu berpisau
untuk berdansa di pinggir danau,” bisik angsa-angsa kepadaku
agar membangunkan dirimu.

Maria Namanya, Pelacur Biasa



Maria namanya, pelacur biasa
gincunya memekik bau mawar
berjalan ke lorong jalan yang lenggang.
.
Sebuah café di sudut kota New Orleans
jendelanya suram tertutup bayangan awan hitam
yang berkeliling menghuni malam.

[Haiku] Biru Laut Nelayan



1#
selalu pagi
membawa lambai helai
sayap camar
2#
laut biru
kebyar layar nelayan
menambat peluh
3#

Sajak Tukang Gorengan

foto: dream.co.id

Sore lembab tukang gorengan belum lagi lewat
paras wajahnya, sayu matanya entah kemana.
Jalanan tergenang hujan tadi malam
kepul asap pisang dan ubi absen jam segini.

Pulang kampus lapar teriak dari balik jaket
kutengak-tengok sembarang pojok pangkal jalan.
Gerobak tak nampak, tak terlihat hadir: teng-tengnya.
Wahai gadis di manakah engkau berada?

H.B Jassin dalam Mimpiku



Libur sekolah seindah nilai rapor:
kali ini tak ada angka 6 terselip di barisan 7, 8 dan 9
“Bagus!” guruku senang, Ibuku apalagi.
Sebuah cium hinggap di pipiku,
cium kebahagiaan: kemenangan buatku.
.

Bintang Jatuh


Aku punya tetangga, anaknya banyak; ada lima orang.
Di antara tetangga lain, rumahnya sederhana, atapnya nyaris ambruk
dindingnya berwarna lusuh, hanya ilalang tinggi di halaman.
Kaca-kaca jendela berdebu, sofa di ruang tamunya menyembulkan busa
semua tampak usang, seperti baju-baju yang mereka kenakan.
.
Musim yang muda, aku sesukanya bermain di sana
kadang numpang makan siang bersama.
Satu panci besar mie instan, adalah menu utama mereka
di samping nasi dan beberapa butir bakso.
Aku tak melihat ada udang dan sayur segar, tak menjumpai pula
daging maupun telur. Namun mereka makan dengan lahapnya,
kecuali aku.

Sekantong Kembang Api

Foto: Wifeni

Horeee….
Mak, aku sudah liburan
pergi yuk Mak, jalan-jalan
cuma ke sana, ke taman
mau bermain sambil jajan.
.
Di taman Mak, tahun baru nanti seru
kata orang bunyi petasan meletup-letup
Aih, bagus deh Mak. Aku mau ke sana
sama Emak, sama Bapak.
Apa Bapak pulang, akhir tahun ini?
.

Untuk Gadis Berpesona Purnama



Kepada
Gadis berpesona purnama
.
Jika saja masih punya esok: aku hendak mengajakmu
pergi ke negeri kincir-kincir angin berputar siang malam.
Di antara permadani bunga-bunga tulip berkelopak cerah
lintasan burung-burung kenari oren memadu janji
tempat para seniman menaruh hati.
.
Lalu kita naik kereta malam, melintasi pepohonan oak
mendaki lembah-lembah hijau-biru bersalju
menjejakan langkah ke hamparan Eidelweis di puncaknya.
Di mana lagu The Sound of Music pernah menggema
dan konon; ujung pelangi ada di sana.
(Jangan kuatir tentang dingin, ia takkan menelusup
pori-porimu. Aku akan mendekapmu sehangat anggur Perancis.)

Ia Menggali Airmatanya Sendiri


di tengah kebun,
ia menggali air matanya sendiri
.
menanam bungkusan putih, bermata darah
baru saja ia bawa dari kamar UGD
yang serupa kurusetra
bersimbah erangan dan laknat
hingga datang seribu malaikat
menanti di setiap ujung nyawa

Pertama Ciuman dan Meraba-raba Pacar



Saya pernah punya pacar namanya Tata, kulitnya coklat muda, badannya kurus tinggi, dadanya rata. Teman-teman menyebutnya Kutilang Darat: kurus tinggi langsing dada rata. Tapi saya tak keberatan dengan semuanya, sebab Tata gadis baik hati dan pandai di kelas. Selain itu dia polos bagai tak berdosa dan jarang jajan di sembarang tempat. Nama lengkapnya adalah Tatiana Diandrani. Tata ogah dipanggil Tati, tak mau pula disapa Tia atau Tian atau Ana. Entah kenapa lebih suka dengan sebutan Tata.

Padahal menurut teman-teman, nama Tata kurang seksi, atau memang dia merasa dirinya tidak seksi, maka Tata nyaman dengan nama itu. Padahal lagi, seksi atau tidaknya perempuan bukan melulu masalah tubuh, wajah atau ukuran dada sekalipun. Senyum Tata sebenarnya, menurut saya seksi, karena bibirnya seperti basah terus menerus. Padahal dan padahal, dia tidak mengeluarkan liur sepanjang waktu. Tidak juga memakai lip gloss yang sering digunakan tante-tante yang saya lihat di Mall.

Jadi, bibir Tata memang sudah dari sananya ranum dan segar serupa delima merah. Saya heran, kok hanya diri saya yang berpikir demikian, sedang teman-teman lain tak melihatnya. Apakah mata saya yang berhalusinasi sebab jatuh cinta dengan dirinya? Atau karena bibirnya begitu memesona maka saya naksir Tata? Setahu saya mata ini jarang salah, setidaknya itu yang Ibu Guru katakan, manakala memberi ganjaran tinggi terhadap nilai-nilai menggambar.

Sabda Semesta




Api
Berkata kepada tanah, tentang dahaga dan kekeringan, bukankah api yang selalu menerangi seluruh mahluk di bumi, dan menghadirkan siang dan malam. Menaburkan kehangatan sepanjang hari tanpa ingkar, lalu menjadi pendar setiap gelap hingga malam tetap berseri-seri, bergemintang.

Tanah
Banyu, maukah kau menahan laju arusmu yang menggerus? Benih-benih yang ada di tubuhku sedang tumbuh besar, menebar akar dan rekah pesona. Menumbuh bunga dan buah. Dan datanglah kepadaku rinai hujan yang lembut. Dan wahai sang laut jangan termenung, kirimkan ombakmu padaku melalui udara hingga tertetes dari sejuk gunung.

Air
Sungguh aku menikmati masa-masa saat dalam rupa uap. Berkondensasi dalam pelukmu. Kemudian jatuh pelan-pelan, mengisi rongga-rongga tanah yang rekah. Kita berjarak, dalam himpitan waktu yang mengarak dan kau hadir untuk bergerak. Tapi menikmatimu ketika datang malu-malu membuatku berdebar, beriak-riak, wahai sang udara.