Bulan Kebiruan di atas Kuburan




Peperempuan itu datang ke kafe tepat jam 21.00, sendirian.

Hanya berteman air mata.

Pada papan menu ia mencari, barangkali ada nama kekasihnya di situ.

"Capucinta?" seorang barista menawarkan sajian.

Apa itu? Sejenis puisi kah?

Cantik...




1/
“Cantik, besok sepulang sekolah, ikut aku ya…
aku mau ngomong sesuatu.
Kita nggak usah ikutan latihan panjat tebing,
sekali ini aja. Soalnya penting nih…”

2/
“Sorry Cantik, kemarin nggak jadi. Nggak enak sama Mas Bambang, kalo nggak latihan.
Gimana kalau lusa kita perginya?”

Dear Fidel

Foto: Fidel


Dear Fidel,

Aku sudah pulang kampung. Beberapa hari di pinggir sawah aku termenung. Bingung. Kata Bapakku, aku kayak orang linglung. Jalannya aja limbung. Malahan hampir masuk kolam ikan, kecemplung.

Kemarin aku nyaris jegur sumur saking malunya. Soalnya sudah terlanjur omong ke Bapak sama Ibu, sudah pula beritakan ke teman-teman sekampung. Bahwa aku mau bawa kamu, bahwa aku mau kenalin kamu ke semua orang.  Mau berbangga hati sebab punya pacar kamu. Tapi gak jadi. Bertepuk sebelah tangan, gayung tak bersambut. Kecewa. Frustasi. Mau bunuh diri. Tapi Bapak bilang, "You are too young to die, but too old to Rock'n Roll"
Artinya apaan sih?

Untung Bapak mencegah aku mati muda. Kolam-kolam ikan itu dikasihkan ke aku. Obat penawar cinta sebelah hati, katanya. Ya, aku terhibur. Sebab ikan-ikan itu mulai pada bunting. Mungkin tiga hari lagi bertelur. Seminggu kemudian bakal menetas telur-telurnya. Kolam yang satu, ikan Maskoki. Yang sebelahnya, ikan Guppy. Warna-warni. Cerah-cerah elok kibasan ekornya, lambai siripnya, pigmen sisiknya. Fidel pasti seneng deh, kalau melihatnya.

Aku dan 12 Pacarku



“Aku menyukai senja sekaligus membencinya. Senja mengingatkan aku akan kedatangan dan perpisahan. Waktu terasa begitu lamban dan membuat segalanya samar-samar,” ujarnya ketika hujan usai. “Bacakan sesuatu, sebab aku belum tentu dapat mendengar suaramu lagi esok hari.”

#1
Aku sebenarnya kurang tahu apakah Anton adalah pacar pertamaku. Yang jelas teman-teman yang mengatakan bahwa Anton menyukaiku. Pada saat bersamaan, aku merasakan hal serupa: ingin terus-menerus melihat wajahnya. Apalagi dia orangnya pemalu.
Aku suka laki-laki pemalu. Bisanya hanya mencuri pandang dan kelihatan gemetar tangannya ketika pura-pura meminjam penghapus. Apakah aku –sebaliknya, lebih agresif?
“Sebaiknya putri Ibu jangan pacaran dulu. Bagaimanapun dia masih SD,” ujar wali kelas ketika memanggil orangtuaku.

Kelereng Merah Jambu




Aku punya tetangga namanya Tono, umurnya 12 tahun. Sama dengan usiaku. Ia suka bermain kelereng. Kelerengnya banyak sekali, diletakkan dalam toples bening bekas kue. Tono adalah teman bermainku sehari-hari. Hobi kami sama, bermain dan mengoleksi kelereng aneka warna.
Tono mempunyai adik perempuan, Tini namanya. Usianya 4 tahun lebih muda dari kakaknya. Tini manis, aku suka melihatnya, kala ia bermain tali atau bernyanyi-nyanyi di taman rerumputan rumahnya. Tono sangat sayang dengan adiknya. Acapkali Tini diajak pula bermain kelereng di taman itu.
Suatu hari, Tini bosan bermain tali. Sambil menunggu Ibunya pulang dari pasar, iseng-iseng ia mengambil toples kelereng Tono. Dikeluarkan isinya, hingga berantakan kelereng-kelereng itu terjatuh. Tini malah senang, melihat benda bulat kaca meloncat-loncat dan berlarian. Ia tertawa-tawa kegirangan.

Anak Haram





“Anak haram, gadis kampung!…Kau bukan saudaraku. Kau anak tukang roti, bukan putri Ibu!”


Keduanya berhadapan dengan pistol terarah ke masing-masing kepala lawannya.
“Jatuhkan senjatamu atau kutarik pelatuk ini!”
“Haha…lakukanlah semaumu, sebelum kau mampus!”
Klik…
Klik…
“Aku ingatkan sekali lagi, menyerahlah jahanam. Semua yang kau perbuat sudah diketahui!”

“Tahu apa kamu?! Semua informasi itu salah, dan kini kita adu cepat dengan nasib. Biar malaikat maut yang memilih, kau atau aku! Lihat dia menunggu di pojok sana.”

Dhuar!…

Pertamakali Melihat Pacar Mandi





Perempuan, kampus dan hura-hura adalah tiga hal yang tak dapat saya lepaskan semasa awal di perguruan tinggi. Ketiganya mempunyai kenangan dan sensasi tersendiri.

Kuliah di bidang seni rupa adalah surga dunia. Dibebaskan dari seragam layaknya anak SMA, diperbolehkan memakai dandanan sesukanya. Mau gonjes, mau botak plus anting sebelah, mau modis bak peragawati, mau kumuh gembel seperti seniman jalanan. Terserah!

Merokok di kelas juga bisa. Makan, minum dan membawa radio tape selama pelajaran dihalalkan, asal tidak membuat huru-hara, kurang ajar atau overacting. Satu-satunya aral melintang adalah Ibu dosen mata kuliah sejarah. Beliau mengharuskan kami berpakaian rapi, melarang makan minum di ruang belajar, apalagi merokok. Bukan karena kelas ber-AC, melainkan pengajar ini memang bergaya jadul dan otoriter. Jika melanggar aturan, kami disuruh keluar ruangan. Maka kami menyebut dia: The Natural Born Killer.

Tetapi mau nggak mau saya harus berbaik laku dengan dosen itu. Pasalnya, putri beliau adalah teman sekelas saya yang jelita. Namanya Menul, wajahnya imut-imut, berhidung mungil, dan alisnya tipis memanjang. Tulang pipinya kecil menonjol, matanya kecoklatan besar mirip boneka. Cara bicaranya ‘njawani’. Dan kerap membantu saya, mengerjakan tugas kampus yang  sepuluh gudang jumlahnya.

Di Sebuah Stasiun

.

.
di sebuah stasiun, ia menunggu kereta malam yang akan tiba
dengan bunga dan topi anyaman, serta senyum terkulum
lelakinya akan datang sebentar lagi, dari arah selatan
peron sepi hanya ia di sana dengan setumpuk rindu yang beku
rindu yang ingin lari bersama dingin bulan November berkesiur angin

Dinda



Saat SMP aku punya teman sebangku yang lucu dan rupawan. Namanya Dinda. Anaknya cerdas luar biasa, hingga disayang para guru dan dikagumi teman-temannya termasuk aku. Kami bersahabat, atau dapat dikatakan melebihi sahabat. Semakin hari semakin erat hubungan kami hingga terbersit rasa saling cemburu, rasa saling kangen dan sedikit perasaan ingin memiliki.

Suatu hari aku menyubit pipi Dinda di kelas saat pelajaran sejarah. Sebab ia membacakan sajakku keras-keras. Seisi ruangan tertawa karenanya. Saking malunya kucubit ia hingga merah merona pipinya. “Aaauuuwwww….” jeritan Dinda terdengar Ibu Guru, lalu Ibu Guru segera menghampiriku dan menyubit pinggangku lebih kuat lagi.

Kini Dinda yang tertawa, sekeras teman-teman lainnya terbahak-bahak. Saat itu kami masih belajar di bangku sekolah menengah, dan pelajaran sejarah adalah hal yang paling membosankan. Pernah Ibu guru sejarah bercerita dengan rekannya sesama guru, ia juga bosan mengajar di sekolah kami. Sudah tiga tahun gaji beliau tidak kunjung naik. Aku mendengarnya dari balik ruangan kala dihukum akibat mencubit Dinda kali ke dua.

Si Dia



di penghujung malam
dia memandang genang air kolam
ikan-ikan koi berbisik-bisik sambil menyelam,
”apakah dia ingin wajahnya terbenam?”

di kolam itu bulan separuh pualam tenggelam
tak ingin muncul pada langit kelam
seperti dia tak kunjung dapat menggenggam;
sebongkah cinta hanyut terseret arus jeram
"kasihan dia –menabung rindu serasa semu rajam."



*****

Jakarta 2013