Pertamakali Melihat Pacar Mandi





Perempuan, kampus dan hura-hura adalah tiga hal yang tak dapat saya lepaskan semasa awal di perguruan tinggi. Ketiganya mempunyai kenangan dan sensasi tersendiri.

Kuliah di bidang seni rupa adalah surga dunia. Dibebaskan dari seragam layaknya anak SMA, diperbolehkan memakai dandanan sesukanya. Mau gonjes, mau botak plus anting sebelah, mau modis bak peragawati, mau kumuh gembel seperti seniman jalanan. Terserah!

Merokok di kelas juga bisa. Makan, minum dan membawa radio tape selama pelajaran dihalalkan, asal tidak membuat huru-hara, kurang ajar atau overacting. Satu-satunya aral melintang adalah Ibu dosen mata kuliah sejarah. Beliau mengharuskan kami berpakaian rapi, melarang makan minum di ruang belajar, apalagi merokok. Bukan karena kelas ber-AC, melainkan pengajar ini memang bergaya jadul dan otoriter. Jika melanggar aturan, kami disuruh keluar ruangan. Maka kami menyebut dia: The Natural Born Killer.

Tetapi mau nggak mau saya harus berbaik laku dengan dosen itu. Pasalnya, putri beliau adalah teman sekelas saya yang jelita. Namanya Menul, wajahnya imut-imut, berhidung mungil, dan alisnya tipis memanjang. Tulang pipinya kecil menonjol, matanya kecoklatan besar mirip boneka. Cara bicaranya ‘njawani’. Dan kerap membantu saya, mengerjakan tugas kampus yang  sepuluh gudang jumlahnya.